Pada tahun 1968, tahun 2001 terasa masih sangat jauh. Pada tahun pembuka milenium ketiga ini bukan tak mungkin teknologi sudah sangat maju sehingga perjalanan antariksa sudah menjadi sangat umum.
Bulan sudah menjadi koloni kita dan penerbangan Bumi-Bulan berjalan beberapa kali dalam sehari, sebuah stasiun antariksa menjadi tempat transit untuk pindah pesawat, dan dalam waktu dekat sudah ada rencana untuk mengirim manusia ke Planet Jupiter. Sebuah perjalanan yang membutuhkan waktu beberapa tahun namun sedang dilaksanakan. Gravitasi buatan diciptakan melalui roda yang berputar pada sumbunya dan sebagian besar awak ditidurkan dalam kamar hibernasi. Hanya dua awak yang bekerja selama perjalanan dengan dibantu oleh komputer super canggih yang memonitor keadaan pesawat.
Paling tidak demikianlah yang mereka bayangkan pada tahun 1968. Almarhum sutradara Stanley Kubrick dan rekannya Arthur C. Clarke—penulis fiksi ilmiah kenamaan yang bermukim di Sri Lanka—mengadaptasi cerita pendek Clarke sebelumnya, The Sentinel, dan melahirkan sebuah film berpengaruh, 2001: A Space Odyssey, yang tidak hanya sangat akurat dalam penggambarannya tentang antariksa, namun juga menggambarkan posisi manusia dalam penjelajahan antariksa. Permulaan milenium ketiga, 2001, bagi mereka adalah permulaan zaman antariksa (space age) yang sebenarnya saat manusia benar-benar menyadari posisinya dalam antariksa: seorang bayi dalam kandungan yang siap dilahirkan dan menjelajah dunia antariksa yang luas. Demikian berpengaruhnya film tersebut sampai orang menduga-duga apakah pada tahun 2001 nanti memang kemajuan teknologi sudah seperti yang digambarkan film tersebut.
Pandangan optimistis ini tak jua hilang saat Clarke menulis cerita pendek Transit of Earth yang mengambil waktu tahun 1984. Pada tahun itu terjadi transit Bumi dilihat dari Planet Mars (dilihat dari Mars, Bumi dapat dilihat bergerak melintasi Matahari) dan seorang astronot yang terdampar sempat menikmati pemandangan tersebut sebelum menghembuskan nafas terakhirnya karena kehabisan oksigen. Walaupun berakhir tragis, namun ada pesan tersurat yang disampaikan Clarke di sini: Pada tahun 1984, penjelajahan manusia di Planet Mars sudah dapat dilakukan.
Penjelajahan antariksa! Pada tahun 1968, bolehlah Clarke bersama Kubrick, saat melahirkan 2001: A Space Odyssey, berpikir optimis karena ilmuwan dan insinyur yang dikontrak NASA sudah sepuluh tahun melakukan eksperimen dan mengirim manusia ke luar angkasa walaupun baru sebatas orbit Bumi. Pada hari natal tahun tersebut, 1968, astronot Apollo 8 berhasil menjadi orang-orang pertama yang meninggalkan orbit Bumi dan mengitari Bulan. Delapan bulan kemudian, Juli 1969, untuk pertama kalinya manusia menginjakkan kaki di Bulan. Penguasaan antariksa oleh manusia serasa tinggal selangkah lagi.
Impian menjelajah angkasa sama tuanya dengan mimpi-mimpi manusia lainnya. Semenjak dulu langit yang tanpa batas adalah ranah dewa-dewi dan manusia biasa yang mencoba menjelajahinya pasti akan mati. Icarus menantang kepercayaan ini, terbang mendekati langit, dan kehilangan nyawanya. Langit kehilangan keangkerannya ketika Newton dan Kepler membongkar rahasia pergerakan langit dan Somniuum, buah karya Kepler, bercerita tentang penjelajahan Bulan dengan bantuan makhluk halus, lahir. Selanjutnya literatur fiksi ilmiah tentang penjelajahan antariksa dan dunia lain mewarnai kehidupan kita. Dan kini…mimpi itu terwujud.
Lantas bagaimana? Manusia sudah mengirimkan wahana tak berawak ke seluruh penjuru tata surya. Seluruh planet dalam tata surya kecuali Planet Pluto telah diteliti melalui misi pendaratan, mengorbit, maupun hanya terbang-lintas (fly-by). Venus dan Mars telah berkali-kali dijelajahi permukaannya oleh wahana tak berawak Uni Soviet dan Amerika Serikat. Merkurius telah dipetakan melalui misi terbang-lintas Mariner 10 pada tahun 1974 dan wahana Messenger beberapa bulan lalu telah dikirimkan dan akan tiba pada Maret 2011 nanti. Wahana Galileo telah bertahun-tahun mengorbit Jupiter sebelum akhirnya “dimatikan” oleh NASA. Dan baru-baru ini wahana Cassini-Huygens telah mencapai satelit Saturnus, Titan, setelah perjalanan panjang 7 tahun. Tata surya seolah sudah terlalu kecil bagi manusia. Lantas bagaimana? Manusia mengirimkan wahana tak berawak menuju bintang terdekat? Itupun sudah. Wahana tak berawak Pioneer 10, Voyager 1 dan 2, diluncurkan 30 tahunan lalu, kini sudah berada di perbatasan tata surya kita dalam perjalanan meninggalkan tata surya.
Namun di balik semua pencapaian itu, manusia ternyata masih tertidur dalam buiannya. Pionir roket modern, Konstantin Tsiolkovsky, berujar, “Bumi adalah buaian pemikiran namun manusia tak dapat tinggal dalam buaian selamanya.” Mimpi Kubrick dan Clarke masih jauh dari kenyataan karena hingga saat ini sejauh manusia dapat pergi adalah 384.000 km, jarak dari Bumi ke Bulan. Walaupun penerbangan ulang-alik ke orbit Bumi sudah menjadi hal biasa dan Stasiun Antariksa Internasional (ISS—International Space Station) sedang dalam tahap konstruksi, kolonisasi Planet Mars dan penerbangan berawak menuju Jupiter masih jauh dari kenyataan. Pun hingga saat ini belum ada rencana untuk memprogramkan pendaratan manusia di Mars, misalnya, atau pembangunan koloni di Bulan. Tiga badan antariksa terdepan di planet ini, NASA (National Aeronautics and Space Administration—Badan Antariksa Amerika Serikat), ESA (European Space Agency—Badan Antariksa Uni Eropa), dan Rosaviacosmos—Badan Antariksa Rusia, bersama dengan Jepang dan Kanada masih sibuk membangun ISS dan NASA merencanakan penerbangan berawak menuju Mars sebelum 2010. Sejauh ini 438 manusia telah pergi ke antariksa, namun bagaimana masa depan manusia di antariksa?
Masalah paling besar yang menghalangi manusia menjelajahi antariksa sudah diketahui semenjak Jules Verne menulis Dari Bumi ke Bulan (From the Earth to the Moon) pada 1865—astronot menghabiskan sebagian besar waktunya dalam keadaan tanpa bobot. Beberapa waktu sebelum Perang Dunia II, pada tahun 1939, saat Arthur C. Clarke dan beberapa kolega membentuk Perkumpulan Antarplanet Inggris (British Interplanetary Society), mereka merancang sebuah stasiun antariksa berbentuk silinder yang berotasi pada sumbunya, sehingga gaya sentrifugal menghasilkan gaya berat kepada penghuni yang berada di bagian dalam “lantai” silinder. Stanley Kubrick menunjukkan keadaan seperti ini dalam 2001: A Space Odyssey. Desain seperti ini dibuat karena saat itu tak ada yang tahu bagaimana reaksi manusia pada keadaan tanpa bobot, karena keadaan tersebut tak dapat dihasilkan Bumi lebih lama dari beberapa detik saja. Skenario terburuk yang dibuat adalah detak jantung yang tak terkendali dan kematian yang cepat namun menyeramkan (ketakutan inilah yang membuat insinyur Uni Soviet pada masa perang dingin merancang kapsul roket yang sepenuhnya dikendalikan dari Bumi, dan yang mendorong insinyur NASA untuk mengirimkan simpanse lebih dahulu ke antariksa). Sekarang kita sudah mengetahui bahwa ketakutan itu ternyata berlebihan dan astronot yang berada dalam keadaan tanpa bobot semuanya baik-baik saja, walaupun ada banyak sekali pengaruh jangka panjang yang masih belum sepenuhnya kita mengerti. Manusia kini telah tinggal di antariksa selama lebih dari satu tahun (pemegang rekor dunia untuk tinggal paling lama di antariksa adalah Valery Polyakov, 437 hari dalam Stasiun Mir) dan beberapa astronot sudah demikian ketagihan dengan kebebasan dari gravitasi sehingga enggan untuk kembali ke Bumi.
Dalam keadaan tanpa bobot, informasi gravitasi menghilang dari otak sehingga orientasi “atas” dan “bawah” pun menghilang. Telinga mengirimkan sinyal membingungkan ke otak dan mata mengalami ilusi, bagi beberapa orang hal ini dapat memualkan. Cairan tubuh mengalir ke dada dan kepala. Urat leher mengembang, wajah memerah. Jantung membesar sedikit dan demikian pula organ-organ lainnya. Otak merasakan cairan tubuh terlalu banyak sehingga tubuh pun membuangnya: Kalsium, elektrolit, dan plasma darah. Produksi sel darah merah berkurang sehingga astronot menderita anemia. Dengan hilangnya cairan tubuh, kaki pun mengecil. Selama menjadi Direktur Insitut Penelitian Permasalahan Biomedik Rusia dari tahun 1968 hingga 1988, Oleg Gazenko melihat kosmonot-kosmonot yang kembali dari penerbangan panjang turun dari kapsul dalam keadaan limbung, pucat, tak tahan berdiri, dan harus ditandu. “Kita adalah makhluk Bumi. Perubahan ini adalah harga yang harus dibayar untuk karcis ke luar angkasa,” ujarnya. Tidak hanya berat badan yang menurun, namun juga massa otot dan kerapatan tulang akan menurun akibat kerja dalam keadaan bobot menjadi sangat kecil. Osteoporosis mengancam karena tulang kehilangan kerapatannya sebesar 1 hingga 2 persen dalam sebulan, sebanding dengan laju kehilangan seorang perempuan pasca menopause dalam satu tahun. Oleh karena itu sebelum kita mengirimkan manusia ke antariksa untuk jangka waktu yang lama, persoalan fisiologis ini harus dijawab terlebih dahulu. Dengan teknologi roket yang ada sekarang aja, perjalanan menuju Planet Mars memakan waktu kurang lebih 260 hari. Total lamanya perjalanan antariksa adalah 522 hari ditambah waktu tinggal di Mars selama 455 hari untuk menunggu saat yang terbaik (lihat gambar di bawah).
Masalah kedua adalah radiasi. Di luar atmosfer Bumi berkeliaran partikel bernergi tinggi yang dilontarkan matahari melalui mekanisme Pelontaran Massa Korona (Coronal Mass Ejection—CME) dan radiasi sinar kosmis yang berasal dari Galaksi Bima Sakti atau sisa supernova. Eksposur terhadap radiasi pada astronot yang berada dalam perjalanan ke Mars akan jauh lebih besar daripada astronot dalam orbit Bumi atau pada permukaan Bulan. Ion berat yang dibawa radiasi sinar kosmis dapat membombardir sel tubuh, memecah struktur DNA dan menyebabkan kanker.
Berbagai penyelidikan telah dilakukan untuk menghadapi persoalan fisiologis dan radiasi ini. Olahraga rutin terbukti mampu mengatasi beberapa persoalan fisiologis. Kosmonot Yuri Romanenko—yang melakukan olahraga secara rutin dengan menggunakan treadmill di Stasiun Mir—setelah menyelesaikan misi selama 329 hari langsung melakukan handstand dengan satu tangan di depan wartawan. Bahan semacam polietilen pun telah terbukti sanggup menyerap radiasi yang ditimbulkan oleh sinar kosmis. Polietilen telah lama digunakan dalam kapal selam nuklir untuk melindungi pelaut di dalamnya dari radiasi dari reaktor nuklir.
Lalu untuk apa seluruh hambatan ini—baik alamiah maupun teknologi—dihadapi untuk membawa manusia menjelajah antariksa? Selain eksplorasi untuk ilmu pengetahuan, ruang angkasa menjadi solusi bagi persoalan pemukiman. Dengan pertumbuhan penduduk yang sangat pesat, hampir 2 persen setiap tahunnya (ini berarti jumlah penduduk Bumi berlipat ganda setiap 40 tahun), maka dalam jangka waktu beberapa ratus tahun Bumi akan kehabisan tempat tinggal. Insinyur mulai memikirkan konsep tentang pemukiman antariksa sebelum kita melangkah untuk mengkolonisasi Bulan atau Mars. Konsep pemukiman antariksa yang mengorbit Bumi dengan kecepatan tertentu agar dapat menghasilkan gaya sentrifugal yang sama dengan besarnya gaya gravitasi di permukaan Bumi mungkin adalah desain yang paling masuk akal untuk direalisasikan dalam beberapa ratus tahun ke depan.
Sebagai langkah awal, perjalanan antariksa harus dibuat lebih efisien. Roket yang ada saat ini sangat tidak efisien karena hanya sanggup membawa muatan kurang dari 1 persen berat totalnya, sehingga harus dicari teknologi yang membuat ongkos perjalanan antariksa sebanding dengan penerbangan antar benua. Ongkos untuk membawa seorang manusia ke dalam orbit paling tidak hanya beberapa ratus dolar dan bukan jutaan dolar seperti sekarang (Pada 2001, milyuner Denis Tito membayar 20 juta dolar dan menjadi turis antariksa pertama). Satu cara untuk mencapai sasaran ini adalah dengan membangun “elevator antariksa” yang membawa seseorang ke orbit Bumi dengan menggunakan kabel yang digantung di atas satelit geostasioner yang diam di atas permukaan Bumi (satelit ini bergerak berlawanan dengan arah rotasi Bumi dengan kecepatan yang sama). Teknologi satelit geostasioner sendiri kini sudah umum digunakan terutama sebagai satelit relay TV seperti Satelit Palapa. Apabila ongkos pengiriman manusia ke antariksa dapat ditekan, maka frekuensi kepergian ke antariksa dapat ditingkatkan dan pembangunan pemukiman antariksa bukan tidak mungkin dapat direalisasikan.
Pembangunan koloni Bulan mungkin adalah langkah selanjutnya, terutama apabila Bulan memiliki prospek ekonomi yang menjanjikan. Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, beberapa tahun lalu pernah mengumumkan rencana untuk membangun koloni di Bulan sebagai batu loncatan untuk pendaratan di Mars (walaupun beberapa kalangan sains di Amerika Serikat sendiri menduga rencana ini hanya sesumbar saja karena Bush sendiri tidak memperlihatkan ketertarikan yang besar terhadap ilmu pengetahuan), dan sisi jauh Bulan (sisi yang tak pernah dilihat dari Bumi) sendiri merupakan lahan yang strategis untuk pembangunan observatorium astronomi radio karena bebas dari gangguan sinyal radio dari peralatan elektronik Bumi.
Mars dari dulu merupakan sasaran kolonisasi, tidak hanya melalui novel-novel fiksi ilmiah tentang kehidupan di Mars yang sudah bermunculan semenjak zaman Ratu Victoria pada Abad 19 dulu, tetapi juga menjadi sasaran menjanjikan semenjak kita mengetahui komposisi atmosfer Mars yang hampir mirip dengan atmosfer kita dengan kandungan karbon dioksida dan oksigen yang lebih sedikit. Mimpi untuk membangun pemukiman permanen di Bulan atau Mars masih berjalan. Gravitasi di kedua tempat hanya seperenam gaya gravitasi Bumi, sehingga benda-benda beratnya hanya seperenam dari beratnya di Bumi dan energi yang kita butuhkan untuk bekerja hanya seperenam dari energi di Bumi. Namun anak-anak yang dilahirkan pada kedua dunia tersebut akan menghadapi persoalan bila harus mengunjungi planet nenek moyang mereka, Bumi, karena gravitasi menjadi enam kali gaya gravitasi planet kelahiran mereka sehingga kerja menjadi enam kali lebih berat (penggemar komik Dragon Ball karya Akira Toriyama mungkin akan teringat mesin gravitasi yang dapat mengubah-ubah gaya gravitasi sehingga seseorang dapat menggunakannya untuk latihan beban dalam gravitasi yang lebih besar). Dalam beberapa abad mendatang spesies kita mungkin akan terpisahkan secara gravitasi ke dalam beberapa suku yang beradaptasi dengan gravitasi nol (ruang angkasa), gravitasi fraksional (Bulan atau Mars), dan gravitasi satu (Bumi).
Sejauh ini hanya Planet Bumi yang diketahui sebagai tempat paling bersahabat bagi kehidupan manusia. Pada suatu waktu dalam milenium ketiga ini kita mungkin akan menghadapi dilema: haruskah kita membiarkan planet-planet tetangga kita tak berubah, atau kita memodifikasinya agar dapat didiami tanpa harus menggunakan pakaian pelindung? Teknologi terraforming, teknologi untuk mengubah wajah sebuah planet, telah banyak diteliti dan kemungkinan dapat direalisasikan pada beberapa planet dalam tata surya kita. Alga atau tumbuhan perintis lainnya yang dapat hidup tanpa oksigen dan kondisi ekstrim lainnya dapat dikirim ke Planet Mars dan mengubah karbon dioksida yang ada menjadi oksigen dengan bantuan sinar matahari, dan di orbit Venus dapat dibangun tudung untuk mengurangi sinar matahari yang masuk. Tentunya persoalan etika akan muncul dalam kebijakan ini dan protes akan bermunculan dari terutama dari kelompok pecinta lingkungan yang dengan tepat akan menunjukkan kesalahan-kesalahan yang telah kita perbuat pada planet kita sendiri.
Pada milenium ketiga ini kita akan memulai zaman antariksa yang sebenarnya. Sebagaimana yang dikatakan almarhum Carl Sagan dalam Cosmos, kita berada di tepi pantai lautan kosmos dan di seberang lautan kosmos menanti pulau lain yang siap kita jelajahi. Ombak di tepi pantai mengundang kita untuk berkelana lebih jauh, namun siapkah kita mengarungi samudera tersebut? Di luar tata surya kita terbentang bintang-bintang lain yang membentuk galaksi, masing-masing dengan keunikannya masing-masing dan ada pula yang memiliki tata surya seperti matahari kita. Bukan tidak mungkin salah satu di antara planet tersebut juga memiliki kehidupan seperti manusia. Apapun yang akan kita alami dan temukan di antariksa nanti, itu akan membentuk masa depan kemanusiaan. Petualangan umat manusia baru akan dimulai.
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Centaurus No. 1, terbit pada tahun 2005. Pada saat itu New Horizons, wahana tak berawak yang akan mengeksplorasi Pluto, belum diluncurkan. Status keplanetan Pluto pun belum lagi dicabut pada saat itu.
Bulan sudah menjadi koloni kita dan penerbangan Bumi-Bulan berjalan beberapa kali dalam sehari, sebuah stasiun antariksa menjadi tempat transit untuk pindah pesawat, dan dalam waktu dekat sudah ada rencana untuk mengirim manusia ke Planet Jupiter. Sebuah perjalanan yang membutuhkan waktu beberapa tahun namun sedang dilaksanakan. Gravitasi buatan diciptakan melalui roda yang berputar pada sumbunya dan sebagian besar awak ditidurkan dalam kamar hibernasi. Hanya dua awak yang bekerja selama perjalanan dengan dibantu oleh komputer super canggih yang memonitor keadaan pesawat.
Paling tidak demikianlah yang mereka bayangkan pada tahun 1968. Almarhum sutradara Stanley Kubrick dan rekannya Arthur C. Clarke—penulis fiksi ilmiah kenamaan yang bermukim di Sri Lanka—mengadaptasi cerita pendek Clarke sebelumnya, The Sentinel, dan melahirkan sebuah film berpengaruh, 2001: A Space Odyssey, yang tidak hanya sangat akurat dalam penggambarannya tentang antariksa, namun juga menggambarkan posisi manusia dalam penjelajahan antariksa. Permulaan milenium ketiga, 2001, bagi mereka adalah permulaan zaman antariksa (space age) yang sebenarnya saat manusia benar-benar menyadari posisinya dalam antariksa: seorang bayi dalam kandungan yang siap dilahirkan dan menjelajah dunia antariksa yang luas. Demikian berpengaruhnya film tersebut sampai orang menduga-duga apakah pada tahun 2001 nanti memang kemajuan teknologi sudah seperti yang digambarkan film tersebut.
Pandangan optimistis ini tak jua hilang saat Clarke menulis cerita pendek Transit of Earth yang mengambil waktu tahun 1984. Pada tahun itu terjadi transit Bumi dilihat dari Planet Mars (dilihat dari Mars, Bumi dapat dilihat bergerak melintasi Matahari) dan seorang astronot yang terdampar sempat menikmati pemandangan tersebut sebelum menghembuskan nafas terakhirnya karena kehabisan oksigen. Walaupun berakhir tragis, namun ada pesan tersurat yang disampaikan Clarke di sini: Pada tahun 1984, penjelajahan manusia di Planet Mars sudah dapat dilakukan.
Penjelajahan antariksa! Pada tahun 1968, bolehlah Clarke bersama Kubrick, saat melahirkan 2001: A Space Odyssey, berpikir optimis karena ilmuwan dan insinyur yang dikontrak NASA sudah sepuluh tahun melakukan eksperimen dan mengirim manusia ke luar angkasa walaupun baru sebatas orbit Bumi. Pada hari natal tahun tersebut, 1968, astronot Apollo 8 berhasil menjadi orang-orang pertama yang meninggalkan orbit Bumi dan mengitari Bulan. Delapan bulan kemudian, Juli 1969, untuk pertama kalinya manusia menginjakkan kaki di Bulan. Penguasaan antariksa oleh manusia serasa tinggal selangkah lagi.
Impian menjelajah angkasa sama tuanya dengan mimpi-mimpi manusia lainnya. Semenjak dulu langit yang tanpa batas adalah ranah dewa-dewi dan manusia biasa yang mencoba menjelajahinya pasti akan mati. Icarus menantang kepercayaan ini, terbang mendekati langit, dan kehilangan nyawanya. Langit kehilangan keangkerannya ketika Newton dan Kepler membongkar rahasia pergerakan langit dan Somniuum, buah karya Kepler, bercerita tentang penjelajahan Bulan dengan bantuan makhluk halus, lahir. Selanjutnya literatur fiksi ilmiah tentang penjelajahan antariksa dan dunia lain mewarnai kehidupan kita. Dan kini…mimpi itu terwujud.
Lantas bagaimana? Manusia sudah mengirimkan wahana tak berawak ke seluruh penjuru tata surya. Seluruh planet dalam tata surya kecuali Planet Pluto telah diteliti melalui misi pendaratan, mengorbit, maupun hanya terbang-lintas (fly-by). Venus dan Mars telah berkali-kali dijelajahi permukaannya oleh wahana tak berawak Uni Soviet dan Amerika Serikat. Merkurius telah dipetakan melalui misi terbang-lintas Mariner 10 pada tahun 1974 dan wahana Messenger beberapa bulan lalu telah dikirimkan dan akan tiba pada Maret 2011 nanti. Wahana Galileo telah bertahun-tahun mengorbit Jupiter sebelum akhirnya “dimatikan” oleh NASA. Dan baru-baru ini wahana Cassini-Huygens telah mencapai satelit Saturnus, Titan, setelah perjalanan panjang 7 tahun. Tata surya seolah sudah terlalu kecil bagi manusia. Lantas bagaimana? Manusia mengirimkan wahana tak berawak menuju bintang terdekat? Itupun sudah. Wahana tak berawak Pioneer 10, Voyager 1 dan 2, diluncurkan 30 tahunan lalu, kini sudah berada di perbatasan tata surya kita dalam perjalanan meninggalkan tata surya.
Namun di balik semua pencapaian itu, manusia ternyata masih tertidur dalam buiannya. Pionir roket modern, Konstantin Tsiolkovsky, berujar, “Bumi adalah buaian pemikiran namun manusia tak dapat tinggal dalam buaian selamanya.” Mimpi Kubrick dan Clarke masih jauh dari kenyataan karena hingga saat ini sejauh manusia dapat pergi adalah 384.000 km, jarak dari Bumi ke Bulan. Walaupun penerbangan ulang-alik ke orbit Bumi sudah menjadi hal biasa dan Stasiun Antariksa Internasional (ISS—International Space Station) sedang dalam tahap konstruksi, kolonisasi Planet Mars dan penerbangan berawak menuju Jupiter masih jauh dari kenyataan. Pun hingga saat ini belum ada rencana untuk memprogramkan pendaratan manusia di Mars, misalnya, atau pembangunan koloni di Bulan. Tiga badan antariksa terdepan di planet ini, NASA (National Aeronautics and Space Administration—Badan Antariksa Amerika Serikat), ESA (European Space Agency—Badan Antariksa Uni Eropa), dan Rosaviacosmos—Badan Antariksa Rusia, bersama dengan Jepang dan Kanada masih sibuk membangun ISS dan NASA merencanakan penerbangan berawak menuju Mars sebelum 2010. Sejauh ini 438 manusia telah pergi ke antariksa, namun bagaimana masa depan manusia di antariksa?
Masalah paling besar yang menghalangi manusia menjelajahi antariksa sudah diketahui semenjak Jules Verne menulis Dari Bumi ke Bulan (From the Earth to the Moon) pada 1865—astronot menghabiskan sebagian besar waktunya dalam keadaan tanpa bobot. Beberapa waktu sebelum Perang Dunia II, pada tahun 1939, saat Arthur C. Clarke dan beberapa kolega membentuk Perkumpulan Antarplanet Inggris (British Interplanetary Society), mereka merancang sebuah stasiun antariksa berbentuk silinder yang berotasi pada sumbunya, sehingga gaya sentrifugal menghasilkan gaya berat kepada penghuni yang berada di bagian dalam “lantai” silinder. Stanley Kubrick menunjukkan keadaan seperti ini dalam 2001: A Space Odyssey. Desain seperti ini dibuat karena saat itu tak ada yang tahu bagaimana reaksi manusia pada keadaan tanpa bobot, karena keadaan tersebut tak dapat dihasilkan Bumi lebih lama dari beberapa detik saja. Skenario terburuk yang dibuat adalah detak jantung yang tak terkendali dan kematian yang cepat namun menyeramkan (ketakutan inilah yang membuat insinyur Uni Soviet pada masa perang dingin merancang kapsul roket yang sepenuhnya dikendalikan dari Bumi, dan yang mendorong insinyur NASA untuk mengirimkan simpanse lebih dahulu ke antariksa). Sekarang kita sudah mengetahui bahwa ketakutan itu ternyata berlebihan dan astronot yang berada dalam keadaan tanpa bobot semuanya baik-baik saja, walaupun ada banyak sekali pengaruh jangka panjang yang masih belum sepenuhnya kita mengerti. Manusia kini telah tinggal di antariksa selama lebih dari satu tahun (pemegang rekor dunia untuk tinggal paling lama di antariksa adalah Valery Polyakov, 437 hari dalam Stasiun Mir) dan beberapa astronot sudah demikian ketagihan dengan kebebasan dari gravitasi sehingga enggan untuk kembali ke Bumi.
Dalam keadaan tanpa bobot, informasi gravitasi menghilang dari otak sehingga orientasi “atas” dan “bawah” pun menghilang. Telinga mengirimkan sinyal membingungkan ke otak dan mata mengalami ilusi, bagi beberapa orang hal ini dapat memualkan. Cairan tubuh mengalir ke dada dan kepala. Urat leher mengembang, wajah memerah. Jantung membesar sedikit dan demikian pula organ-organ lainnya. Otak merasakan cairan tubuh terlalu banyak sehingga tubuh pun membuangnya: Kalsium, elektrolit, dan plasma darah. Produksi sel darah merah berkurang sehingga astronot menderita anemia. Dengan hilangnya cairan tubuh, kaki pun mengecil. Selama menjadi Direktur Insitut Penelitian Permasalahan Biomedik Rusia dari tahun 1968 hingga 1988, Oleg Gazenko melihat kosmonot-kosmonot yang kembali dari penerbangan panjang turun dari kapsul dalam keadaan limbung, pucat, tak tahan berdiri, dan harus ditandu. “Kita adalah makhluk Bumi. Perubahan ini adalah harga yang harus dibayar untuk karcis ke luar angkasa,” ujarnya. Tidak hanya berat badan yang menurun, namun juga massa otot dan kerapatan tulang akan menurun akibat kerja dalam keadaan bobot menjadi sangat kecil. Osteoporosis mengancam karena tulang kehilangan kerapatannya sebesar 1 hingga 2 persen dalam sebulan, sebanding dengan laju kehilangan seorang perempuan pasca menopause dalam satu tahun. Oleh karena itu sebelum kita mengirimkan manusia ke antariksa untuk jangka waktu yang lama, persoalan fisiologis ini harus dijawab terlebih dahulu. Dengan teknologi roket yang ada sekarang aja, perjalanan menuju Planet Mars memakan waktu kurang lebih 260 hari. Total lamanya perjalanan antariksa adalah 522 hari ditambah waktu tinggal di Mars selama 455 hari untuk menunggu saat yang terbaik (lihat gambar di bawah).
Masalah kedua adalah radiasi. Di luar atmosfer Bumi berkeliaran partikel bernergi tinggi yang dilontarkan matahari melalui mekanisme Pelontaran Massa Korona (Coronal Mass Ejection—CME) dan radiasi sinar kosmis yang berasal dari Galaksi Bima Sakti atau sisa supernova. Eksposur terhadap radiasi pada astronot yang berada dalam perjalanan ke Mars akan jauh lebih besar daripada astronot dalam orbit Bumi atau pada permukaan Bulan. Ion berat yang dibawa radiasi sinar kosmis dapat membombardir sel tubuh, memecah struktur DNA dan menyebabkan kanker.
Berbagai penyelidikan telah dilakukan untuk menghadapi persoalan fisiologis dan radiasi ini. Olahraga rutin terbukti mampu mengatasi beberapa persoalan fisiologis. Kosmonot Yuri Romanenko—yang melakukan olahraga secara rutin dengan menggunakan treadmill di Stasiun Mir—setelah menyelesaikan misi selama 329 hari langsung melakukan handstand dengan satu tangan di depan wartawan. Bahan semacam polietilen pun telah terbukti sanggup menyerap radiasi yang ditimbulkan oleh sinar kosmis. Polietilen telah lama digunakan dalam kapal selam nuklir untuk melindungi pelaut di dalamnya dari radiasi dari reaktor nuklir.
Lalu untuk apa seluruh hambatan ini—baik alamiah maupun teknologi—dihadapi untuk membawa manusia menjelajah antariksa? Selain eksplorasi untuk ilmu pengetahuan, ruang angkasa menjadi solusi bagi persoalan pemukiman. Dengan pertumbuhan penduduk yang sangat pesat, hampir 2 persen setiap tahunnya (ini berarti jumlah penduduk Bumi berlipat ganda setiap 40 tahun), maka dalam jangka waktu beberapa ratus tahun Bumi akan kehabisan tempat tinggal. Insinyur mulai memikirkan konsep tentang pemukiman antariksa sebelum kita melangkah untuk mengkolonisasi Bulan atau Mars. Konsep pemukiman antariksa yang mengorbit Bumi dengan kecepatan tertentu agar dapat menghasilkan gaya sentrifugal yang sama dengan besarnya gaya gravitasi di permukaan Bumi mungkin adalah desain yang paling masuk akal untuk direalisasikan dalam beberapa ratus tahun ke depan.
Sebagai langkah awal, perjalanan antariksa harus dibuat lebih efisien. Roket yang ada saat ini sangat tidak efisien karena hanya sanggup membawa muatan kurang dari 1 persen berat totalnya, sehingga harus dicari teknologi yang membuat ongkos perjalanan antariksa sebanding dengan penerbangan antar benua. Ongkos untuk membawa seorang manusia ke dalam orbit paling tidak hanya beberapa ratus dolar dan bukan jutaan dolar seperti sekarang (Pada 2001, milyuner Denis Tito membayar 20 juta dolar dan menjadi turis antariksa pertama). Satu cara untuk mencapai sasaran ini adalah dengan membangun “elevator antariksa” yang membawa seseorang ke orbit Bumi dengan menggunakan kabel yang digantung di atas satelit geostasioner yang diam di atas permukaan Bumi (satelit ini bergerak berlawanan dengan arah rotasi Bumi dengan kecepatan yang sama). Teknologi satelit geostasioner sendiri kini sudah umum digunakan terutama sebagai satelit relay TV seperti Satelit Palapa. Apabila ongkos pengiriman manusia ke antariksa dapat ditekan, maka frekuensi kepergian ke antariksa dapat ditingkatkan dan pembangunan pemukiman antariksa bukan tidak mungkin dapat direalisasikan.
Pembangunan koloni Bulan mungkin adalah langkah selanjutnya, terutama apabila Bulan memiliki prospek ekonomi yang menjanjikan. Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, beberapa tahun lalu pernah mengumumkan rencana untuk membangun koloni di Bulan sebagai batu loncatan untuk pendaratan di Mars (walaupun beberapa kalangan sains di Amerika Serikat sendiri menduga rencana ini hanya sesumbar saja karena Bush sendiri tidak memperlihatkan ketertarikan yang besar terhadap ilmu pengetahuan), dan sisi jauh Bulan (sisi yang tak pernah dilihat dari Bumi) sendiri merupakan lahan yang strategis untuk pembangunan observatorium astronomi radio karena bebas dari gangguan sinyal radio dari peralatan elektronik Bumi.
Mars dari dulu merupakan sasaran kolonisasi, tidak hanya melalui novel-novel fiksi ilmiah tentang kehidupan di Mars yang sudah bermunculan semenjak zaman Ratu Victoria pada Abad 19 dulu, tetapi juga menjadi sasaran menjanjikan semenjak kita mengetahui komposisi atmosfer Mars yang hampir mirip dengan atmosfer kita dengan kandungan karbon dioksida dan oksigen yang lebih sedikit. Mimpi untuk membangun pemukiman permanen di Bulan atau Mars masih berjalan. Gravitasi di kedua tempat hanya seperenam gaya gravitasi Bumi, sehingga benda-benda beratnya hanya seperenam dari beratnya di Bumi dan energi yang kita butuhkan untuk bekerja hanya seperenam dari energi di Bumi. Namun anak-anak yang dilahirkan pada kedua dunia tersebut akan menghadapi persoalan bila harus mengunjungi planet nenek moyang mereka, Bumi, karena gravitasi menjadi enam kali gaya gravitasi planet kelahiran mereka sehingga kerja menjadi enam kali lebih berat (penggemar komik Dragon Ball karya Akira Toriyama mungkin akan teringat mesin gravitasi yang dapat mengubah-ubah gaya gravitasi sehingga seseorang dapat menggunakannya untuk latihan beban dalam gravitasi yang lebih besar). Dalam beberapa abad mendatang spesies kita mungkin akan terpisahkan secara gravitasi ke dalam beberapa suku yang beradaptasi dengan gravitasi nol (ruang angkasa), gravitasi fraksional (Bulan atau Mars), dan gravitasi satu (Bumi).
Sejauh ini hanya Planet Bumi yang diketahui sebagai tempat paling bersahabat bagi kehidupan manusia. Pada suatu waktu dalam milenium ketiga ini kita mungkin akan menghadapi dilema: haruskah kita membiarkan planet-planet tetangga kita tak berubah, atau kita memodifikasinya agar dapat didiami tanpa harus menggunakan pakaian pelindung? Teknologi terraforming, teknologi untuk mengubah wajah sebuah planet, telah banyak diteliti dan kemungkinan dapat direalisasikan pada beberapa planet dalam tata surya kita. Alga atau tumbuhan perintis lainnya yang dapat hidup tanpa oksigen dan kondisi ekstrim lainnya dapat dikirim ke Planet Mars dan mengubah karbon dioksida yang ada menjadi oksigen dengan bantuan sinar matahari, dan di orbit Venus dapat dibangun tudung untuk mengurangi sinar matahari yang masuk. Tentunya persoalan etika akan muncul dalam kebijakan ini dan protes akan bermunculan dari terutama dari kelompok pecinta lingkungan yang dengan tepat akan menunjukkan kesalahan-kesalahan yang telah kita perbuat pada planet kita sendiri.
Pada milenium ketiga ini kita akan memulai zaman antariksa yang sebenarnya. Sebagaimana yang dikatakan almarhum Carl Sagan dalam Cosmos, kita berada di tepi pantai lautan kosmos dan di seberang lautan kosmos menanti pulau lain yang siap kita jelajahi. Ombak di tepi pantai mengundang kita untuk berkelana lebih jauh, namun siapkah kita mengarungi samudera tersebut? Di luar tata surya kita terbentang bintang-bintang lain yang membentuk galaksi, masing-masing dengan keunikannya masing-masing dan ada pula yang memiliki tata surya seperti matahari kita. Bukan tidak mungkin salah satu di antara planet tersebut juga memiliki kehidupan seperti manusia. Apapun yang akan kita alami dan temukan di antariksa nanti, itu akan membentuk masa depan kemanusiaan. Petualangan umat manusia baru akan dimulai.
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Centaurus No. 1, terbit pada tahun 2005. Pada saat itu New Horizons, wahana tak berawak yang akan mengeksplorasi Pluto, belum diluncurkan. Status keplanetan Pluto pun belum lagi dicabut pada saat itu.
0 komentar:
Posting Komentar